A short post tentang sesuatu yang sebenernya udah cukup lama terjadi.
Cuman pengen membiasakan menulis kembali saja sih, hehe.
Kopaja AC.
Sebuah fenomena yang sudah cukup lama ng-eksis di bumi Batavia kita.
Jalan tengah antara bus sekelas Metromini/Kopaja yang sering kebut-kebutan ugal-ugalan seakan-akan lagi lomba satu sama lain, dan Busway/APTB yang jauh lebih beradab, adem tapi terbatas rutenya.
Sebagai background aja, gua hampir tiap hari memakai Kopaja AC, terutama S 602 Ragunan-Monas. Tadinya, gua masih bisa campursari milih-milih antara 602, Busway, S75 atau yang lain. Tapi sejak ada si proyek jalan layang tendean-ciledug (yang sangat sangat sangat ridiculously Gu*blo*) itu... walhasil, S 602 disambung dengan Busway koridor 1 dari Benhil, sekarang jadi my main means of transport kalau hari kerja atau kalau mau bergerak ke arah utara. FYI rumah ane di Pejaten, kalau gawean ya di Senopati ujung.
Sedikit tarik ke belakang. Di akhir tahun 2014, ada kegalauan sedikit di hati para pengguna busway-kopaja AC koridor 6.
Ragunan-Dukuh Atas, salah satu koridor busway yang paling ngenes - disaat busway koridor lain udah baru, busnya gandeng.... kami masih memakai busway abu2 yang sudah sebagian usang dan kelepek-lepek catnya. (Oh, gua udah ngomong soal pintu belakang yang ga bisa ditutup dan AC yang udah ga jalan kah? Oh belum...) Bahkan sampe sekarang, April 2015, walau sudah ditambah armada bus baru, kalau mau diitung, bus abu-abu yang sudah mengabdi 8 tahun lebih di jalur kami itu belum dipensiunkan.
Kala itu ramai perbincangan tentang tiket Kopaja AC ga lagi dijual di halte busway - kalo mau masuk halte, ya bayar dulu 3500 buat Busway! Sabodo teuing ujung nya naik APTB kek, Busway kek, Kopaja kek!
Outrage ensued. Ya. Banyak orang marah. Untungnya hal itu ga bertahan lama, para mbak2 dan mas2 penjual tiket Kopaja kembali duduk di halte-halte koridor 6 lagi.
Namun yang terburuk rupanya belum datang saudara.
Mimpi buruk itu berupa... eTiket.
Sebagai pengguna koridor 1 reguler juga, gua pun sudah mengalami e-Tiketing di busway lebih awal dibanding di koridor 6 tercinta. Gua sangat salut sih awalnya, sekarang jadinya makin gampang karena lebih integrated - KRL e-Tiketing, busway juga e-Tiketing, perfect.
Tapi sedari awal masuknya e-Tiket itu, bayangan gua terlempar ke koridor 6 : nah kan ada kopaja AC... nanti gimana dong? masa balik ke masa2 "harus bayar 3500 dulu" untuk masuk sih.
Rupanya saudara, dugaan terburuk itu benar.
Dan kini, efeknya banyak.
Kalau secara aturan, Kopaja AC emang ga boleh nurunin orang di selain halte busway (khusus ketika mereka ada di lajur busway ya... tapi kalo gak, ya seperti kopaja biasa).
But... masa? masa? BODO! begitu lah respons para supir, knek, dan penumpang Kopaja AC. Lagipula di hati para supir dan knek ada satu alasan di atas semua - kejar setoran, dan untuk para penumpang - bisa nyampe tujuan lebih cepet dan murah.
Mari kita tilik sejenak, naik kopaja AC di jalur busway atau di halte busway sekarang, perbedaannya apa.
NAIK DI JALUR BUSWAY : Rp 6000, naik-turun sesuka hati, bus 5-10 menit sekali tapi pasti langsung di angkut sama si knek!
NAIK DARI HALTE BUSWAY : Rp 9500, naik-turun only di halte busway, 5-7 menit sekali dateng tapi nunggu bisa sampe 20 menit, gara2 sering kali udah penuh duluan!
Kalau kasus ini di present ke temen-temen ane nun jauh d benua biru sana... it won't be a problem nambah 3500, lagian turun d jalan kalau ga bisa nyebrang diantara jalanan jakarta dmana semua org ingin ngebut? Berabe.
But most importantly, menurut mereka, law is a law, rule is a rule!
Ah lu, kaya ga tau aja, Jakarta.
Yang penting, survive bro! Masih idup kan?
Dalam kata lain.... yang penting, masih ada duit kan?
Ga perlu bayar 3500 itu lumayan, untuk orang kantor, 2 hari PP itu berarti bisa ngehemat 14ribu, atau 1x makan siang di warteg (belum itung minum sih, hehe). Dengan patokan sebulan 20 hari kerja, kalau kaya gitu, bisa ngehemat 10x makan siang! wih, lumayan lah - bisa dipake buat jalan bareng gebetan. hehehe.
Lebih lagi, kalo ga boleh telat ngantor! Nah loh. Buat manusia-manusia yang ditakdirkan tidak tinggal didekat halte-halte awal koridor 6, ini maslahat umat! Mending naik Kopaja yang pasti jelas knek nya mau ngangkut, daripada busway yang dibatesin penumpangnya. In fact, gua sering liat kok kalau lagi di koridor 1 - misalnya busway nya kelamaan, orang juga mau aja naik kopaja AC or APTB. Tarik baang!
Walhasil, berlimpah lah sekarang, disepanjang jalur koridor 6 busway (Ragunan-Dukuh Atas), para PENCARI KOPAJA AC, ya, termasuk gue.
Tapi kami pinter lah, ga sembarang nge stop - biasanya orang macem kami akan ngumpul di prapatan, atau tempat busway yang ada "bolongan" alias pembatas lajur yang rusak. And yes, kalau bisa, sedekat mungkin dari tempat kami berangkat.
Untung buat gue sih, gang kecil yang menghubungkan rumah gue dan Jl. Buncit Raya itu persis ada "bolongan Busway" nya.
Tren macem ini ga ada yang mulai, tapi memang kesadaran masing-masing aja, ketika tau gara-gara e-Tiket sekarang harus bayar 3500 dulu kalau mau naik Kopaja AC dari halte busway.
Salahkah kami? Haruskah kami tetap manut aturan untuk masuk ke halte busway dulu? Kalau sebagai nasionalis, itu at least nambah duit kas daerah lo...
Tidak juga. Seorang teman saya komentar seperti ini tentang e-tiketing koridor 6.
"Sistem aneh - kok malah gara-gara sistem baru orang jadi melanggar aturan. Kita nya ga bisa disalahin. Menyulitkan. Kalau mau bikin sistem tuh ya mbok yang memudahkan penumpang, bukan provider... Yang dilayani siapa? Penumpang kan?"
Itulah ke-kekeuh-an, keyakinan orang Jakarta. Dan kasus ini adalah tanda kreatifitas orang Indonesia, orang Jakarta.
Kreativitas para provider Transjakarta yang ingin mengeruk duit, sehingga e-Tiket diterapkan supaya orang yang naik APTB dan Kopaja AC tetap bayar....
Dan kreativitas penumpang seperti kami yang menolak menyerahkan 3500 untuk sekedar numpang lewat di halte busway.
No body's wrong. We are just being... creative. Like normal Indonesians :)