"Tersebutlah satu sore penghujung pekan biasa di salah satu pusat perbelanjaan ibukota.
Kaki ini kala itu baru melangkah keluar dari ATM bank biru sejuta umat Nusantara.
Mau apa lagi? Kini tugasku menunggu.
Menunggu jemputan.
Walhasil kaki yang menjuntai dari badan ini berjalan tak tentu tanpa arah. Mengitari lantai-lantai konsumerisme ini saja. Tawaf! Tawaf di mana? Tawaf-in Mall.. hehe, kalau kata canda temanku
Kios roti, kedai kopi masakini, butik pakaian maupun parfum... Halaman demi halaman gaya hidup Jakarta dan keramaian akhir pekan dipindai oleh mata.
Hingga akhirnya berhenti langkah-langkah pelan ini di depan teman lama. Sebuah teman lama yang telah lama tiada bersua.
Teman lama itu bernama toko buku.
Jujur, satu tahun di perantauan hampir membuatku alpa akan eksistensi mahluk yang satu ini. Semua bahan bacaan sudah bergelimpangan di dunia maya. Apa ada bacaan diatas kertas yang ku baca selama setahun belakangan ini?
Kesampingkan buku pelajaran dan koran ataupun tabloid sepakbola, dan kalian akan temukan nihil.
Ya, tiga jenis bacaan itu lah satu-satunya ragam bacaan tercetak yang ku baca selama setahun ini. Hingga kemarin seorang teman pejalan baru saja meluncurkan buku berisi kisah pelancongannya - aku pun akhirnya buka puasa. Puasa buku cerita cetak.
Tiada salahnya aku masuk ke dalam, nalar ini berbisik.
Bau semerbak buku cetakan baru yang menghiasi outlet depan kios tersebut pun menyesap. Ah, sudah tak bertamu lama ke teman lama ini. Buku-buku bestseller menyambut kedatanganku. Begitu banyaknya cerita hidup orang...
Efek pemilu, pencitraan kah? Padahal sudah gulung tikar 2 bulan urusan pesta suara rakyat itu.
Masuk lebih dalam lagi, mulai lah terpampang rak-rak favoritku; buku-buku perjalanan, entah ia hanya majalah, buku fotografi, atau catatan perjalanan seperti yang ditulis 2 temanku itu... Langkah pertama memulai perjalanan adalah memimpikannya. Halaman-halaman cerita perjalanan bagiku, adalah lembaran-lembaran yang mengajarkan tentang kehidupan...
Dan sekejap, si anak mungil cempluk berkacamata bulat kutu buku itu hidup kembali. Saking kutubukunya minimal satu jam selalu disisihkan hampir tiap akhir pekan, sekadar demi membaca di toko buku. Walau tak selalu berujung membeli salah satunya, hehe.
Untungnya kini, anak itu telah tumbuh besar meski belum sepenuhnya dewasa. Sehingga ketika ia menengok ponselnya demi mengintip jam - untung baru seperempat jam berselang.
Tapi 15 menit ini mahal harganya.
Aku ditinggal jemputan itu dan yah, harus jalan kaki!
Dasar kutu buku, tak berubah!
Itu cerita kecil penghujung pekan kemarin.
Tampaknya kutu buku ku takkan pernah hilang, hanya sering kali sembunyi tak tampak.
Namun nafsu membaca diri ini tak pernah bisa disembunyikan.
Akhir-akhir ini ada bahan bacaan baru yang aku sangat ingin kupas, dan bedah per kata.
Bahan bacaan itu ialah manusia.
Membaca manusia, membaca kehidupan.
Di sore sebelumnya aku bertemu teman-temanku, acara pentas seni sekolah kami dulu - ya, pentas seni berhiaskan artis ternama ibukota; sampai tiket pun raib ke tangan tujuh ribu muda-mudi. Semua dalam satu hari saja.
Kini kebanyakan mereka telah memulai hidup baru - kehidupan mahasiswa, fase pertama dimana mereka ini didefinisikan oleh satu kata empat huruf; Maba.
Ada pula yang masih menunggu hijrahnya ke negeri seberang. Walau seberang itu ada yang artinya sekadar tetangga, dan ada pula yang artinya terpisah satu hari penerbangan pesawat.
Halaman-halaman hidup mereka baru mulai tertuliskan.
Pelbagai tantangan jadi dekorasi, jadi tanda baca yang memberi sekat waktu jeda, ataupun huruf kapital yang menandai dimulainya kalimat baru. Kini mereka menulis buku mereka masing-masing. Cerita pendek atau essay beberapa halaman itu sudah berhenti saja di SMA.
Kini kami semua menulis buku kehidupan... Baru di titik prolog.
Dan bahkan epilog nya pun kami tiada tahu kapan ditulisnya, bahkan seperti apa ia akan berwujud? Kami belum ada bayangan.
Buku ini akan....
Menarik. Menantang. Tiap-tiap Berbeda.
Pasti.
Namun apakah semuanya dapat membuat, setidaknya, si anak berkacamata bulat itu - mau bertahan berjam-jam membaca?
Atau hanya sebagian saja yang dapat menulis buku semacam itu?
Atau malah...
Tidak satupun dari kami yang akan mampu?
Ah entahlah.
Menulis halaman kehidupan itu butuh keberanian.
Biarkan waktu mengeringkan tinta-tinta yang digoreskan diatas lembaran itu, sekalipun hanya satu kata setiap harinya...."
Sudah2, balik ke penulisan laporan, nak. Lo lagi kerja. Kejar selesai sebelum makan siang, bro!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar